Mendekati lembah Cibaliung, gemericik air Sungai Cibaliung terdengar sayup-sayup. Suaranya makin jelas ketika kami tiba di salah satu gua penambang. Jalan masuk gua yang di sekitarnya ditumbuhi semak belukar itu disangga pilar-pilar dan atap kayu. Di depan gua, serpihan bebatuan putih berserakan. Sisa material lainnya ditumpuk dan dinaungi terpal plastik. Untuk memasuki lorong sempit dan gelap itu, kami hanya bisa bergantian satu per satu sambil membungkukkan badan.
Begitu sampai di ujung lorong yang berjarak delapan meter, tiga penambang laki-laki tampak berada di dalam. Sebuah senter terikat pada kepala salah seorang penambang, yang berusia sekitar 20 tahun. Tak kuat berlama-lama di dalam gua yang pengap, saya memutuskan keluar dengan cara berjalan mundur setengah berjongkok. Dari gua itu, saya menyusul rombongan di depan yang sudah memasuki perkampungan penambang di bawah sana.
Bedeng-bedeng penambang yang dibangun dari kayu dan terpal plastik itu begitu kumuh, seperti kandang ternak. Berukuran enam meter persegi, naungan itu dibagi untuk kamar tidur, dapur, dan tempat kerja. Salah satunya dihuni Sarman, 23 tahun. Lelaki berkulit gelap itu mengaku sudah ada di sana sejak 2000. Menurut dia, di sini ada lebih dari 100 penambang yang hampir seluruhnya berasal dari Desa Mekar Mukti, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, termasuk dirinya. Kampung itu sendiri terletak di balik lembah Sungai Cibaliung, berjarak, "Dua jam jalan (kaki)," katanya.
Saat itu, dia sempat memperlihatkan hasil temuannya setelah menggali dua hari dua malam di sebuah lubang. Dari bungkus kain lusuh berwarna merah, dia mengeluarkan batu logam berwarna perak seukuran kelereng. Di dalam batu seberat 4 gram itu, katanya, ada emas. Setiap bulan, dia biasa mendapat 10-15 gram emas yang biasa ia jual ke toko perhiasan di daerah Banjaran, Bandung. Hasilnya dibawa pulang ke keluarganya saban 15 hari sekali. "Uangnya hanya cukup untuk makan," ujarnya.
Makmur, seorang peserta yang juga peneliti dari Museum Geologi Bandung mengatakan, dari batuan seberat 4 gram itu, paling hanya 30 persennya atau 1,2 gram yang menjadi emas. Sisanya adalah perak dan tembaga, yang sering dibuang begitu saja oleh penambang.
Pagi atau malam, para penambang mulai bekerja memahat batuan kuarsa yang keras di gua, lalu memasukkannya dalam karung. Tidak asal memahat, mereka mencari rekahan batuan di dinding gua. Rekahan seukuran garis tipis itulah, menurut Makmur, yang disebut urat emas. Rekahan itu adalah jalan bagi mineral, seperti emas, perak, dan tembaga, dari hasil kegiatan gunung api. Gunung itu sendiri diperkirakan telah mati.
Pecahan kuarsa selanjutnya diangkut ke bedeng. Batuan itu lalu ditumbuk dengan palu besi hingga hancur menjadi seukuran biji kacang. Butiran-butiran itu selanjutnya dimasukkan dalam gelundung, sebuah silinder dari besi seukuran galon air mineral yang diikat pada kayu. Gelundung yang diputar oleh arus sungai selama 12 jam menghasilkan butiran batu halus. Pengumpulan emas dalam butiran itu lantas diproses dengan kucuran air raksa alias merkuri.
Saya meninggalkan Sarman, yang masih ingin menuntaskan pekerjaannya memecah batu. Bergabung dengan peserta yang sudah membuka bekal makan siangnya, lokasi yang dipilih adalah sebuah batu besar di tengah sungai. Dari arah belakang, lamat-lamat terdengar lagu dari radio di salah satu bedeng di belakang kami. Dari mana listriknya? Penasaran, saya bergegas berkeliling kampung penambang setelah beres makan. Salah seorang penambang dengan gamblang menjelaskan asal listrik itu. Dia membawa saya ke tepi sungai lainnya yang berjarak sekitar 15 meter dari tempat kami makan siang.
Ternyata sumber listrik itu berasal dari tenaga air. Para penambang membuat turbin sederhana dengan bantuan dinamo dari mesin motor Honda CB. Dari situ, listrik mengalir hingga 250 watt, lalu dibagi untuk lima rumah. Daya sebesar itu, katanya, cukup untuk menyalakan lampu neon, alat-alat listrik bertenaga 15 watt, dan mengisi ulang baterai telepon seluler secara bergantian. Turbin itu, ujarnya, sudah dipasang dua tahun karena minyak tanah semakin susah. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, para penambang membeli beras dan lauk-pauk serta minyak goreng di warung perkampungan lain.
Dari obrolan dengan penambang lain, mereka mengaku penambangan yang mereka lakukan adalah liar. Tiap bulan, katanya, mereka kerap disambangi petugas pemerintah daerah Garut yang meminta mereka pergi. Berdalih tak ada pekerjaan lain, para penambang tak menggubris larangan itu sehingga petugas pun tak bisa berbuat lebih jauh. Sejauh ini, kata mereka, tak ada seorang penambang pun yang tewas karena kecelakaan kerja.
Setelah pamit meneruskan perjalanan, kami menaiki lembah untuk mencapai lokasi lain: Curug (air terjun) Cibaliung. Menyusuri jalan setapak yang licin, kami disambut penambang lain yang membangun bedeng di dekat curug. Untuk mencapai curug, kami harus melewati titian gelondongan kayu yang melintang licin di tengah sungai. Di bawahnya, gelundungan berputar cepat dihantam arus sungai. Perlu kehati-hatian tinggi di titian ini kalau tidak ingin terpeleset. Untungnya, tak ada satu pun peserta yang tercebur ke sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar