Rabu, 08 Juli 2009

Ulasan Buku “Ekonomi Indonesia Mau Ke Mana??”

BUKU BOEDIONO

Oleh Kwik Kian Gie

Freedom Institute memasang iklan satu halaman berwarna di sebuah harian yang termahal. Biaya iklannya buat satu koran satu kali muat ini saja Rp. 350 juta. Yang diiklankan bukunya Boediono yang isinya tidak merupakan pikiran-pikirannya setelah dia memproklamasikan dirinya sebagai Calon Wakil Presiden, tetapi kumpulan karangan yang sudah ditulis jauh sebelum Boediono dipaksa oleh arus besar (big stream) untuk mencalonkan dirinya sebagai Wakil Presiden RI.

Seperti yang ditulis oleh Toni Prasentiantono dalam Pengantar di buku tersebut, nampaknya andalannya adalah pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Gajah Mada yang diucapkannya pada tanggal 24 Februari 2007.

Maka dalam serial ini yang pertama kali saya bahas adalah bagian dari pidatonya yang cukup panjang. Saya akan membahas isi dari pidato ini terlebih dahulu, yang akan disusul dengan pembahasan berikutnya, yang menjadikan sebuah serial.

Boediono berbicara tentang arah kebijakan ekonomi Indonesia. Maka judul bukunya “Ekonomi Indonesia Mau ke Mana ?” Ketika pidato pengukuhannya dipublikasikan secara meluas, Bapak SBY menerima kelompok pemikir “futuristik” yang dipimpin oleh Chairul Tanjung di istana guna memasyarakatkan arah ekonomi Indonesia menuju tahun 2030, yang menurut mereka akan menjadi satu dari 5 ekonomi terbesar dan terkuat di dunia.

Maka ketika itu ada dua ungkapan penting dari dua orang penting di negeri ini, yang sekarang menjadi lebih penting lagi, karena SBY capres dan Boediono cawapres. Pandangan SBY yang mengantarkan kelompok Chairul Tanjung dan pandangan Boediono dengan pidato pengukuhannya sebagai andalan visi jangka panjangnya menjadi sangat relevan dan aktual.

Presiden SBY menggunakan kata ‘mimpi’ saat menyampaikan sambutannya pada acara Yayasan Indonesia Forum. Kepala Negara mengatakan,”kita tidak perlu malu bermimpi.”

Setelah membaca buku visi tersebut, dalam tidur saya mimpi. Saya hidup dalam Kerajaan Mimpi dengan pendapatan nasional per kapita (PNPK) US$20.000. Maka menurut Boediono negara yang bersangkutan demokrasinya sudah sangat-sangat mantap. Mengapa ? Karena menurutnya kalau pendapatan per kapita suatu bangsa sudah melampaui US$ 6.600 per tahun, demokrasinya sudah mantap. Dalam Kerajaan Mimpi, pendapatan per kapita jauh melampaui angka yang disebutnya, karena sudah mencapai US$20.000.

Bentuk Kerajaan Mimpi adalah sebuah monarki mutlak yang tidak dibatasi dengan konstitusi dan tidak mempunyai parlemen, dengan sang raja beserta seluruh keluarganya mempunyai kekuasaan absolut untuk berbuat apa saja. Pendapatan nasionalnya sebesar US$ 4 triliun. Dari jumlah ini, US$ 3,5 trilyun dibagikan kepada keluarga besarnya yang terdiri dari 100 orang.

Sisanya, yang US$ 500 miliar, dibagikan kepada seluruh rakyat dikurangi 100 anggota keluarga besar raja, atau sebanyak 199.999.900 orang.

Pendapatan rata-rata per orang dari 100 anggota keluarga kerajaan sebesar US$35 miliar per tahun, sedangkan rakyat yang berjumlah 199.999.900 orang, masing-masing memiliki pendapatan sebesar US$ 2.500 per tahun.

Jadi Kerajaan Mimpi mempunyai 200 juta warga negara. Pendapatan nasionalnya US$ 4 trilyun. Pendapatan per kapitanya = US$ 4 trilyun dibagi 200 juta jiwa yang sama dengan US$ 20.000 yang jauh melampaui pendapatan nasional per kapita sebesar US$ 6.600 per tahun yang menjadi syarat untuk mantapnya demokrasi.

Tetapi, seperti dapat kita lihat angka-angkanya di atas, yang menikmati pendapatan lebih besar dari US$ 6.600 per tahun hanya 100 orang. Yang 199.999.900 orang sisanya bahkan pendapatannya seolah-olah sebesar US$ 20.000 atau tiga kali lipat dari persyaratan pendapatan untuk mantapnya demokrasi.

Bagaimana kenyataannya ? Kenyataannya, di antara 100 anggota keluarga besar raja itu tidak ada demokrasi. Kekuasaan mutlak ada di tangan Raja. Rakyat yang bukan bangsawan masing-masing berpendapatan US$ 2.500 yang jauh di bawah persyaratan untuk mantapnya demokrasi sebesar US$ 6.600 per orang per tahun.

Dalam pidato pengukuhan Boediono, terdapat empat kalimat yang isinya sama, yaitu “pendapatan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat”, yang olehnya diistilahkan “broad base.” Nalarnya kira-kira begini. Kalau pendapatan setiap orang tinggi, jiwanya tentu juga matang dan sudah berpendidikan, maka bisa berdemokrasi atau menikmati kebebasan secara bertanggung jawab.

Itulah sebabnya, menurut Zakaria yang dianut Boediono, pembagian pendapatan per kapita yang harus tinggi itu juga harus merata agar demokrasi bisa selamat.

Dalam Kerajaan Mimpiku, pendapatan per kapita memang tinggi, yaitu US$20.000, tetapi tidak dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kaum ningrat menikmati pendapatan US$35 miliar, sedangkan mayoritas rakyat hanya US$ 2.500 per tahun.

Monarki Mutlak

Itulah sebabnya di Kerajaan Mimpiku tidak ada demokrasi. Yang ada adalah monarki mutlak. Saya kepingin demokrasi. Maka saya juga mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Boediono tentang borad base.

Perdana Menteri Kerajaan Mimpiku mirip bung Karno. Dia bertanya, “Bagaimana caranya memperoleh apa yang anda artikan dengan broad base? Maksudku bukan what to achieve, tetapi how to acieve ?

Ketika saya bengong, Perdana Menteri membuka sepatu dan kaos kakinya sambil mengatakan: “Dat weet mijn grote teen ook.” Artinya, “Kalau ngomong-nya cuma begitu, jempol kakiku juga tau.”

Beberapa Kenyataan Penting

Sebanyak 92% dari kekayaan migas kita dieksploitasi perusahaan asing yang mendapat bagian 30%, walaupun menurut formula bagi hasil hak mereka 15%. Sampai kini masih 30%, karena pelaksanaan ketentuan yang terkenal dengan istilah recovery cost harus diganti terlebih dahulu.

Bagaimana mengubahnya? Tidak perlu menurut salah seorang ekonom. Pemilikan oleh siapa tidak penting, yang terpenting adalah manfaatnya.

Kalau ternyata sampai sekarang bangsa Indonesia hanya memperoleh manfaat 70%, bagaimana membalikkannya? Pengelolaan kekayaan alam juga sangat tidak transparan.

Dalam APBN pos pemasukan dari sumber daya alam non migas, hanya US$ 500 juta. Terus Freeport mengklaim bahwa setorannya kepada pemerintah Indonesia US$1 miliar per tahun. Apakah US$1 miliar per tahun buat bangsa Indonesia dari Freeport sudah adil, dan karena kepemilikan tidak penting.

Tidak ada komentar: